Pendidikan Hukum Islam yang “Mendamaikan” Perbedaan Antarmazhab
Abstract
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin
kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
Jaminan dari konstitusi tersebut, yang dimuat dalam Pasal 29, sudah pasti tidak bisa tegak
dengan sendirinya di tengah-tengah masyarakat. Ia masih membutuhkan banyak faktor
lain dalam implementasinya, termasuk bantuan dari bidang pendidikan. Walaupun
jaminan dari konstitusi mengenai kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing telah ada, namun pada lapisan bawah masyarakat (grass
roots) masih cukup mudah ditemukan fakta bahwa beberapa kelompok tetap melakukan
tindakan diskriminasi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan yang minoritas. Salah
satu contohnya dapat dilihat pada diskriminasi yang dialami oleh para pemeluk mazhab
Syiah di beberapa tempat di Indonesia. Salah satu penyebab tindakan diskriminasi itu
dapat berasal dari kekurangpahaman sebagian pihak mengenai mazhab Syiah, atau
setidaknya mengenai hak-hak para pemeluk mazhab Syiah untuk dapat meyakini ajaranajaran
di dalam mazhab mereka. Pada tingkat pendidikan tinggi, seperti pada fakultas
hukum di universitas-universitas, sebenarnya mata kuliah Hukum Islam potensial bisa
memainkan peran yang “mendamaikan” gesekan antarmazhab tersebut. Potensi
pendidikan hukum seperti itu tentunya sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo dalam
memandang pendidikan hukum dalam bentuk yang idealnya, yaitu sebagai pendidikan
hukum yang berdimensi kemanusiaan. Dalam konsep yang demikian, menurut Rahardjo,
maka pendidikan hukum diarahkan menjadi “penolong manusia dari kesusahan.” Makalah
ini akan meneliti bagaimanakah sebenarnya materi-materi pada perkuliahan Hukum Islam
tersebut merespons keberagaman mazhab yang ada di dalam Islam? Dan, apakah materimateri
itu
juga
telah
mendukung
upaya
“mendamaikan”
gesekan
antarmazhab
seperti
yang
sering
terjadi
di
lapisan
bawah
masyarakat
di
beberapa
tempat
di
Indonesia?