Resiliensi Pada Siswa Kelas VII yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren Ditinjau Dari Kecerdasan Berbudaya
Abstract
Pesantren, pondok pesantren, atau disebut pondok adalah sekolah islam berasrama. Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994). Di pesantren seluruh siswa berkumpul di sebuah area, sehingga pertemuan antar siswa yang berbeda budaya terjadi selama 24 jam. Pada kenyataannya banyak siswa kelas VII yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan tidak mampu mengikuti culture pesantren. Mereka yang tidak memiliki daya juang tinggi tentu akan rapuh dan mudah menyerah dengan kondisi sosial lingkungan. Sikap yang rapuh dan mudah menyerah ini ditengarai bahwa siswa kelas VII tersebut tidak resilien. Menurut Revich and shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Bagi siswa kelas VII yang baru masuk pesantren, tentu membutuhkan penyesuaian supaya resilien. Menurut Ang & Dyne (2008) kecerdasan berbudaya adalah kemampuan yang dimiliki individu agar dapat berfungsi secara efektif diberbagai situasi dengan berbagai budaya. Konsep kecerdasan berbudaya menggambarkan kemampuan individu untuk sukses dalam beradaptasi pada pengaturan budaya baru yang tidak familiar, serta mampu berfungsi secara efektif dalam situasi budaya yang berbeda (Ang & Dyne, 2008). Dari penjabaran di atas dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan berbudaya maka akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan barunya sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik maka menjadi individu yang resilien dalam kehidupannya.