DEKONSTRUKSI CITRA KEPEREMPUANAN DALAM SASTRA: DARI BUDAYA LOKAL HINGGA GLOBAL
Abstract
Sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya
dan makna yang kaya nuansa, sejalan dengan mencuatnya issu jender dan makin
eksisnya kaum perempuan. Dengan pendekatan kritik sastra feminis ideologis, ditemukan
bahwa masalah jender telah disoroti para sastrawan kita, sejak zaman Balai Pustaka
(1920-an) dan memuncak pada akhir abad XX lewat Saman (Ayu Utami, 1998).
Berdasarkan analisis literer dapat dikemukakan, bahwa citra keperempuanan
dalam sastra Indonesia dapat diklasifikasi menjadi empat: (1) Ingin merombak sistem
hubungan laki-laki dan perempuan agar harmonis dan bebas dalam menentukan pilihan
hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada masa Balai Pustaka; (2) Memprotes ketidakadilan
jender dan menuntut kebebasan dalam melakukan aktivitas di sektor publik yang diwakili
Layar Terkembang dan Belenggu pada masa Pujangga Baru; (3) Menggugat
ketidakadilan jender dalam budaya lokal (Jawa) yang menempatkan perempuan sebagai
manusia kelas dua, yang diwakili Sri Sumarah, Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng
Dukuh Paruk pada dekade 1970 hingga 1980-an; dan (4) Suara keperempuanan global
yang mendekonstruksi kemudian merekonstruksi nilai-nilai tradisi dunia perempuan,
yang disuarakan antara lain oleh kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia dan Saman
pada akhir abad XX.