Mereduksi Dikotomi Muhammadiyah dan Aisyiah untuk Menuju Profesionalisasi
Abstract
Di balik keberhasilan gerakan dan kepemimpinan perempuan di berbagai bidang kehidupan, ternyata masih tersimpan mitos perempuan sebagai manusia kelas dua (the second class, the second sex) di dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya masyakat Indonesia yang masih banyak berpandangan bahwa perempuan merupakan sosok manusia kelas dua, tetapi juga di berbagai negara terutama negara berkembang. Hal ini tidak lepas dari pandangan sosio-kultural yang membedakan perempuan dengan laki-laki.
Sejarah mencatat, secara universal perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan itu tidak saja tampak dalam biologis yang terjelma dalam jenis kelamin, tetapi juga dalam hal lain yang lebih dikenal dengan gender. Perempuan sering dikatakan sebagai sosok makhluk yang lembut, indah, tidak asertif, tidak agresif, dan cenderung mengalah. Sedangkan laki-laki sering ditampilkan sebagai sosok manusia yang besar, kokoh, asertif, agresif, dan dominan.
Perbedaan laki-laki-perempuan itu membawa implikasi yang jauh dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam bidang politik, demokrasi, dan kepemimpinan. Permasalahannya kini adalah bagaimana pola gerakan dan kepemimpinan perempuan Indonesia kontemporer, dan bagaimana agar gerakan perempuan mampu mengangkat eksistensinya secara mandiri.