dc.description.abstract | Halaqah Tarjih I dan II secara konsisten menunjukkan bahwa pemikiran keagamaan warga Muhammadiyah sangat beragam, bahkan pada tingkat elitnya sekalipun, baik elit pendidikan maupun elit birokrasi. Sebagai warga Muhammadiyah, terutama generasi muda, sedemikian inklusif, akomodatif, dan responsif terhadap persoalan-persoalan aktual. Namun demikian, sebagian lainnya tampak sedemikian eksklusif, resisten, dan lamban.
Isu tentang seni lokal menunjukkan betapa pemikiran, sikap, dan perilaku sebagian warga Muhammadiyah diliputi oleh ambivalensi dan paradoks. Sebagian dari ambivalensi dan paradoks ini tercermin, misalnya, dalam ungkapan salah satu warga elit Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah sebaiknya “membabat” seni lokal secara “arif”. Ambivalensi dan paradoks semakin terlihat ketika warga muhammadiyah mengalami inkonsistensi pemikiran, sikap dan perilaku dalam public sphere dan private sphere.
Akar ambivalensi dan paradoks tampaknya terletak pada dominasi perspektif fiqhiyyah di dalam pemikiran-pemikiran Muhammadiyah, sehingga realitas hidup tersederhanakan menjadi hitam-putih atau benar-salah. Doktrin TBC (Tahayyul, Bid’ah, dan Khurafat) dipahami dalam konteks formal dan tidak memberikan ruang untuk penafsiran di luar kaidah fiqih. Ini pula yang telah menjadi penyebab utama terseok-seok manhaj tarjih yang dilahirkan oleh Munas Tarjih pada Muktamar Muhammadiyah ke-44. Oleh karena itu, bila Dakwah Kultural yang dilahirkan oleh Sidang Tanwir di Bali mengalami nasib serupa dengan manhaj tarjih, maka dapatlah dipastikan bahwa lokomotif Muhammadiyah akan melaju tanpa gerbong-gerbongnya. | en_US |