dc.identifier.citation | Allyn & Bacon. 2004. Anthology of Traditional Literature. Boston: Judith V Leechner Blasi, A. 1984. “Moral Identity” dalam W.M. Kurtines & J. Gewirtz (Eds.) Morality: Moral Behavior and Moral Development. New York: Wiley. -----------. 1985. “The Personality” dalam M.W. Berkowitz & F. Oser (Eds.). Moral Education: Theory and Application. New York: Wiley. Lukens, Rebecca J. 1999. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman. Nucci, Larry P & Darcia Narvaez. 2008. Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge. Nurgiyantoro, Burhan. 2004. “Sastra Anak: Persoalan Gender” dalam Humaniora Volume 16 Nomor 02, Juni. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM. ---------. 2005. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Taylor. C. 1989. Sources of the Self: The Making of Modern Identity. Cambridge: Harvard University Press. Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. http://www.wikipedia. com | in_ID |
dc.description.abstract | Sastra tradisional meliputi fabel, dongeng rakyat, legenda, epos, dan mitos. Mitos merupakan salah satu sastra tradisional yang sering bertema tentang dewa-dewa atau kekuatan supernatural, yang melebihi batas-batas kemampuan manusia. Kata mitos berasal dari bahasa Yunani, mythos, yang artinya cerita rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya (wikipedia.com). Mitos inilah yang oleh kebanyakan orang dianggap dapat dipakai sebagai media pendidikan karakter bagi anak. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalah yang dikemukakan adalah fungsi mitos sebagai media pendidikan karakter. Terdapat beberapa tema yang ditemukan oleh mitografer, yaitu (1) Para pencipta dan supernatural. (2) Asal-usul dunia/alam. (3) Asal-usul fenomena alam. (4) Asal-usul binatang dan manusia. (5) Asal-usul kondisi manusia. (6) Hal-hal yang dapat dan/atau untuk dipertimbangkan. Jika mitos diceritakan ulang pada waktu dan keadaan yang berbeda, mitos memiliki fungsi yang berbeda pula. Sebuah kebudayaan juga menceritakan mitos yang berbeda pada waktu yang berbeda dengan merespons perubahan budaya dan politik. Walaupun sangat penting meletakkan setiap mitos sesuai dengan konteks budaya untuk memahami pandangan tentang dunia yang sangat berbeda dari orang-orang yang berbeda pula, mitos tetap memiliki keunikan dan fungsinya masing-masing. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode analitik-deskriptif. Mitos Kolong Wewe dikenal luas di masyarakat Malang, Jawa Timur; khususnya di Desa Talok, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Mitos lisan ini hidup turun-temurun dan belum ditransliterasikan secara formal. Belum ada dokumentasi tertulis, selain yang sudah dikerjakan nonformal dan belum diterbitkan oleh Carly Arifaatul M dan disempurnakan oleh Sugihastuti (2014). Mitos Kolong Wewe berfungsi sebagai media pendidikan karakter moral. Karakter moral seseorang dianggap terdiri dari kebajikan. Akan tetapi, dalam pandangan Blasi (1985) merupakan hal yang berguna membedakan kebajikan tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kebajikan tingkat rendah adalah kecenderungan tertentu, yang muncul dalam daftar sifat-sifat terpuji yang disukai oleh pendidik karakter, termasuk misalnya empati, kasih sayang, keadilan, kejujuran, kedermawanan, kebaikan, ketekunan, dan sebagainya. Biasanya daftar ini menggambarkan kecenderungan untuk merespons dengan cara tertentu dalam situasi yang sangat spesifik. Sangat mudah untuk menghasilkan kantong-kantong kebajikan ini. Bahkan, orang segera melihat bahwa daftar ini sering berbeda satu sama lain, selalu panjang, dan dapat dengan mudah diperluas, dan umumnya tidak sistematis. Sebaliknya, kebajikan tingkat tinggi memiliki generalitas yang lebih besar dan sangat mungkin diterapkan di banyak situasi. | in_ID |