Dekonstruksi Realitas Sosial Kesatuan Akuntansi dengan Pendekatan Filsafat Jawa Tuna Satak Bathi Sanak
Abstract
Kesatuan akuntansi di samping sebagai abstraksi dari lingkungan bisnis modern
menciptakan realitas konflik perbuatan hukum dan ekonomi dan konflik antara
manajemen dan pemilik. Menurut sudut pandang kesatuan akuntansi, konflik-jawab
perusahaan bukan pemilik. kondisi tersebut berpotensi ‘dimanfaatkan’ oleh pemilik
sebagai alat untuk memaksimalkan kesejahteraannya. Dengan dalih perbuatan
hukum, pemilik dapat beralibi untuk menghindar dari konflik yang dihadapi
perusahaan. Sudut pandang lain menyatakan bahwa manajemen harus
bertanggungjawab atas ekuitas pemilik. Pemilik berupaya memaksimalkan
kesejahteraannya melalui kontrol terhadap ekuitasnya. Sementara manajemen juga
memiliki kesempatan untuk meningkatkan utilitasnya melalui kendali perusahaan
yang diamanatkan kepadanya. Kondisi ini mengandung konflik antara keinginan
pemilik dan manajemen, atau biasa disebut konflik keagenan.
Penelitian ini mencoba untuk membaca kembali realitas sosial kesatuan
akuntansi merefleksikannya dengan nilai kearifan filsafat Jawa tuna satak bathi
sanak. Filsafat tuna satak bathi sanak mengandung makna intrinsik dan ekstrinsik
yang mencita-citakan kehidupan yang harmoni dan tatatentrem. Senada dengan hal
tersebut, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk merumuskan konsep
kesatuan akuntansi yang berbasis pada filsafat tuna satak bathi sanak
Dalam penelitian ini metoda yang digunakan untuk membumikan konsep
harmoni dan tatatentrem ke dalam realitas sosial kesatuan akuntansi adalah model
berpikir Jawa. Model ini akan digunakan untuk mengoperasionalisasikan filsafat tuna
satak bathi sanak melalui mitologi wayang yang tokoh sentralnya adalah lakon
Semar. Dalam mitologi wayang, lakon Semar hadir dalam rangka mendekonstruksi
logosentrisme kerajawian dan tradisi Jawa. Menurut lakon Semar kerajawian dan
tradisi Jawa dapat disatukan menjadi sebuah cita-cita ideal tertinggi—manunggaling
kawula-Gusti. Dengan sintesis Semar, penelitian ini akan merumuskan konsep
harmoni dalam kesatuan akuntansi yang merujuk pada menyatunya raja dengan
Gusti dan merumuskan konsep tatatentrem ke dalam konsep kesatuan akuntansi
yang merujuk pada menyatunya rakyat, raja, dan Gusti.
Hasil penelitian ini sengaja dibingkai dengan menggunakan peribahasa Jawa:
‘tinggal glanggang colong playu’. Artinya meninggalkan arena diam-diam melarikan
diri. Tujuannya untuk melihat praktik yang dilakukan oleh pemilik atau pemegang
saham di balik konsep kesatuan usaha. Hasil penelitian ini berdasarkan uraian
pandangan idealis akuntan (akuntan pendidik, akuntan publik dan akuntan
manajemen) terhadap perilaku ‘cuci tangan’ pemilik untuk menghidari problem
bisnis yang tidak menguntungkan. Berdasarkan analisis terhadap pandangan idealis
ditemukan pemahaman bahwa konsep kesatuan usaha yang didukung secara
administrasi (sebagai praktik yang sehat) dan yuridis (UU No. 40/2007) tidak sematamata
memberi
peluang
bagi
pemilik
untuk
beritikad
tidak
baik.
Pemilik atau pemegang saham adalah pihak yang memberikan amanah kepada
manajemen untuk mengelola bisnis perusahaan. Tanggung jawab perusahaan ada di
pihak manajemen. Berdasarkan konsep itu manajemen bertanggung jawab
sepenuhnya atas problematika yang dihadapi perusahaan. Hasil analisis penelitian
ini mengisyaratkan bahwa konsep kesatuan usaha tidak cukup hanya didukung
secara legitimasi melalui sistem administrasi dan yuridis. Konsep kesatuan usaha
juga perlu didukung oleh etika/moral bisnis baik manajemen maupun pemilik atau
pemegang saham.
Aset yang dimiliki perusahaan dalam konteks tinggal glanggang colong playu
selalu identik dengan pemenuhan modal kerja. Perusahaan akan senantiasa
membesarkan nilai aset tersebut agar dapat menghasilkan keuntungan materi yang
besar pula. Dari sudut pandang pemegang saham atau pemilik cara yang
dilakukannya adalah dengan berinvestasi yang sebesar-besarnya bagi aset yang
berfungsi sebagai modal kerja. Kemudian mendorong kepada manajemen untuk
mengoptimalkan upayanya yang tidak lain adalah maksimalisasi keuntungan.
Sedangkan dalam konteks moral pemegang saham atau pemilik harus sadar
bahwa aset-aset yang mereka tanamkan di perusahaan memerlukan perlindungan.
Mereka harus menyadari bahwa baik langsung maupun tidak langsung masyarakat
dan lingkungan tempat di mana perusahaan melakukan kegiatan bisnis sangat
ramah menerima kehadiran perusahaan. Dengan demikian terdapat opportunity
cost yang harus dikeluarkan untuk membiayai ‘kos lokasi’ di mana perusahaan
melakukan kegiatan bisnis selalu berhadapan dengan lingkungan yang di dalamnya
terdapat masyarakat yang melindungi aset perusahaan baik langsung maupun tidak
langsung.