dc.contributor.author | Azaria, Sally | |
dc.date.accessioned | 2015-12-22T08:32:06Z | |
dc.date.available | 2015-12-22T08:32:06Z | |
dc.date.issued | 2015-06-13 | |
dc.identifier.citation | Berger, P.L. & Luckman, T. (1991). The Social Construction of Reality. London: Penguin Books. Feral children. (n.d.). Halifac Regional School Board. Retrieved May 31, 2015, from http://hrsbstaff.ednet.ns.ca/mskinner/Sociology/Socialization/feral_children.htm Henslin, J. A. (2007). Life in Society, 2nd edition. Boston: Pearson Higher Education Santoso, B., Azaria, S. Tan, D. & Tan, J. (2014). Passing the True Wealth to Your Children. Surabaya: True Parenting Publishing Setiadi, E. M., et al. (2006). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. | in_ID |
dc.identifier.isbn | 978-602-71716-2-6 | |
dc.identifier.uri | http://hdl.handle.net/11617/6507 | |
dc.description.abstract | Orang tua adalah kunci utama yang menentukan bagaimana generasi berikutnya menjadi lebih baik. Pernyataan ini sebenarnya secara tidak langsung sudah disadari oleh masyarakat, contohnya falsafah budaya Jawa, yaitu bibit bebet bobot dalam menentukan pasangan hidup. Bibit di sini adalah berarti melihat siapa dan bagaimana keluarga (dalam hal ini adalah orang tua) calon pasangannya. Selain itu, beberapa pakar juga mendukung hal ini, salah satunya adalah Peter L. Berger (1990) yang menekankan akan pentingnya orang tua. Berger menjelaskan bahwa budaya terjadi ketika konstruksi sosial (eksternalisasi) terbentuk, yaitu internalisasi (proses sosialisasi, termasuk dari orang tua) dan objektivasi (proses dialog dalam diri individu) yang membentuk suatu realitas sosial, yaitu budaya itu sendiri. Ada tiga jenis orang tua dalam memandang peran penting mereka. Yang pertama adalah orang tua yang benar-benar tidak menyadari peran penting mereka dalam menentukan kualitas generasi berikutnya. Banyak diantara mereka hanya menitikberatkan pada pemenuhan tanggung jawab secara ekonomi, yaitu mewariskan uang bagi anak mereka. Seringkali, oleh karena kesibukan dan tuntutan hidup, orang tua mengabaikan sisi mewariskan nilai-nilai yang benar. Padahal dengan berbuat ini, mereka sedang membentuk generasi selanjutnya menjadi memandang sesuatu hanya dari sisi ekonomi saja. Jenis kedua adalah orang tua yang menyadari tetapi men-down-grade peran sebagai orang tua. Mereka yang ada dalam kategori ini biasanya “menyerah” dengan diri mereka, “ya seperti ini lah saya”. Pendapat lainnya, anak bebas menentukan nilai hidup mereka, anak bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak. Padahal ada fase usia anak di mana anak benar-benar meniru apa yang di sekeliling mereka (orang tua) baru di fase usia selanjutnya mereka bisa menentukan. Kelompok ketiga adalah mereka yang menyadari dan menjalankan peran pentingnya sebagai orang tua. Tulisan ini membahas secara mendalam cara merevitalisasi ketiga jenis orang tua di atas. Dengan demikian diharapkan semua orang tua menyadari pentingnya peran mereka sehingga bisa menghasilkan generasi berikutnya yang lebih baik. | in_ID |
dc.language.iso | id | in_ID |
dc.publisher | Universitas Muhammadiyah Surakarta | in_ID |
dc.subject | Peran Orang Tua | in_ID |
dc.subject | Revitalisasi | in_ID |
dc.subject | Sosialisasi | in_ID |
dc.subject | Anak | in_ID |
dc.title | Revitalisasi Peran Orang Tua Sebagai Kunci Keberhasilan Generasi Berikutnya | in_ID |
dc.type | Article | in_ID |