Kearifan Lokal berbasis Transendental: Kasus Sengketa Lahan Adat di Kutai Barat, Kalimantan Timur
Abstract
Mayoritas penduduk Kutai Barat adalah suku Dayak, dengan bahasa, adat-istiadat, kultur, budaya dan hutan sebagai sumber penghidupan, obat-obatan, penanda budaya, serta identitasnya sebagai sekumpulan masyarakat adat. Kepemilikan kawasan kelola hutan (adat) berdasarkan faktor genealogis dan teritorial berdasarkan asal usul (sejarah) yang sudah ada secara turun-temurun jauh sebelum Negara Republik Indonesia ada. Beberapa lahan adat dijual secara sepihak oleh masyarakat sehingga menimbulkan konflik horizontal antara kampung Muara Tae dan Muara Ponaq, yang masih satu keturunan rumpun Dayak Benuaq. Masyarakat tetap bertahan dengan merestorasi lahan dan menanam kembali pohon-pohon asli hutan untuk mendapatkan kembali wilayah hutan adat. Masyarakat adat juga menempuh jalan spiritual dengan mengelar sumpah adat untuk menyerahkan persoalan kepada para leluhurnya. Sumpah adat merupakan solusi akhir dari bentuk sikap pasrah masyarakat dan menyerahkan persoalan hutan adat kepada leluhurnya. Siapapun yang salah dan tidak jujur, maka akan disadarkan lewat hukuman dari para leluhur. Metode kearifan lokal berbasis transendental ini mengingatkan agar manusia dapat lebih arif dan bijak kepada alam dengan prinsip: Tauhid, Khilafah, Amanat, dan Syariah untuk mewujudkan kelestarian alam dan islah untuk menjalin perdamaian.