dc.description.abstract | Tak seorang pun pernah berkeinginan dilahirkan berkulit putih, kuning, sawo matang, atau hitam. Tak seorang pun pernah meminta terlahir berambut kejur, ikal, ataupun keriting. Tak seorangpun pernah berdoa untuk terlahir bermata biru, cokelat, ataupun hitam. Tak seorang pun pernah bermaksud untuk dilahirkan sebagai kaukasus, negroide, ataupun melanesia. Bahkan, mungkin tak seorang pun pernah berkehendak untuk dilahirkan.
Terlahir adalah produk dari kombinasi proses-proses rumit di luar kemampuan dan kehendak diri sendiri. Terlahir merupakan sebuah fakta masa lalu yang tak mungkin diubah, dihapus atau dibuang. Terlahir adalah sebuah keharusan tanpa pilihan.
Seandainya boleh memilih, Adam akan lebih suka tinggal di surga daripada terlempar ke dunia. Seandainya boleh memilih, manusia akan lebih suka tinggal di rahim ibu. Karena rahim ibu merupakan replika surga yang segalanya serba membahagiakan. Dalam rahim ibu, manusia tak pernah merasa kepanasan, kedinginan, kelaparan, atau kehausan. Dalam rahim ibu, manusia tak pernah merasa sedih, takut, bingung atau kecewa.
Tapi tak seorang pun berhasil bertahan di rahim ibu. Melalui proses-proses tertentu, manusia dipaksa untuk keluar dan diputuskan dari berbagai bentuk pertalian alami dengan sang ibu. Alhasil, manusia pun terlahir.
Seandainya boleh memilih, manusia akan lebih suka menjadi bayi atau anak kecil. Bayi atau anak kecil tak pernah merasa gelisah ataupun sedih, bahkan pada saat mereka menangis sekalipun. Bagi bayi atau anak kecil menangis bukan berarti sedih. Berdasarkan kesederhanaan pengalaman mereka, menangis merupakan cara efektif untuk mengundang perhatian dan meminta belaian kasih sayang.
Tapi tak seorang pun berhasil bertahan menjadi bayi atau anak kecil. Dia dipaksa tumbuh dan berkembang menjadi remaja/dewasa, menghadapi tantangan dan permasalahan.
Seandainya boleh memilih, manusia akan lebih suka menjadi manusia remaja/dewasa. Remaja/dewasa merupakan puncak kecantikan, puncak ketampanan, puncak kematangan, puncak kekuatan, puncak kejayaan, dan puncak prestasi.
Tapi tak seorang pun berhasil bertahan menjadi remaja/dewasa tanpa harus layu di lanjut usia atau mati. Secara perlahan tetapi pasti, unsur-unsur ketuaan berdatangan, atau secara tiba-tiba ajal menjelang.
***
Seandainya boleh memilih, mungkin semua orang ingin terlahir berkulit putih, kuning, sawo matang, atau hitam. Seandainya boleh memilih, mungkin semua orang ingin terlahir berambut pirang, merah, ataupun hitam kelam. Seandainya boleh memilih, mungkin semua orang ingin terlahir bermata lebar atau sipit.
Atau justru sebaliknya …
Seandainya boleh memilih, mungkin tak seorang pun ingin terlahir berkulit putih, kuning, sawo matang atau hitam. Seandainya boleh memilih, mungkin tak seorang pun ingin terlahir berambut pirang, merah, atau hitam. Dan, seandainya boleh memilih, mungkin tak seorang pun ingin terlahir bermata lebar atau sipit.
Oleh karena itu, tak seorang pun bisa memilih untuk terlahir sebagai anak dari pasangan George Bush, George Soros, Usama bin Ladin, Saddam Husein, Muammar Khadafy, Li Tek Tjeng, Mahathir Mohammad, Soeharto, Hashim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Kromo Tukang Tambal Ban, atau Fulan.
Terlahir adalah sebuah keharusan sejarah. Terlahir berarti dimulainya penitian jembatan shiratal mustaqim, yang setiap jengkalnya dapat membuat manusia terpelanting dan terjerembab ke dasar neraka Jahanam. Terlahir berarti dimulainya pendakian licin dan terjal lereng keimanan, yang setiap jengkalnya dapat membuat manusia terpeleset dan terlempar ke dasar kehinaan dan kekufuran. Tetapi, terlahir juga berarti peletakan batu pertama pembangunan istana keabadian, yang setiap jengkalnya menawarkan kebahagiaan surga Aden. Terlahir juga berarti harapan dan peluang manusia atas pemulihan kemuliaan sifat-sifat ketuhanannya.
Lalu, mengapa orang harus menanggung beban sejarah yang tidak dibuatnya sendiri? Mengapa orang harus menderita penghinaan atau cercaan hanya karena berbeda warna kulit, rambut, atau mata? Mengapa orang merasa lebih dari yang lain hanya karena yang lain itu berbeda dari dirinya? Mengapa orang lebih suka mempermasalahkan masa lalu daripada masa mendatang, yang masih bisa dirancang dan dibangun?
Sungguh Maha Adil Tuhan, yang tak pernah melihat perbedaan fisik sebagai kelebihan atau kekurangan. Sungguh Maha Adil Tuhan, yang hanya melihat nilai manusia pada ketakwaan mereka.
Makna manusia bukan pada warna kulitnya, bukan pada warna atau bentuk rambutnya, bukan pada warna atau bentuk matanya, bukan pada kelebatan janggutnya, bukan pada kelebaran surbannya, bukan pada kemewahan rosarionya, bukan pula pada huruf-huruf yang merajut namanya.
Tak ada kelebihan ABDUL dari JONATHAN, JOKO, HASHIMOTO, RAJIV, KIM, atau TAN.
Menjadi manusia berarti selalu berada di persimpangan jalan, yang setiap detik harus memutuskan secara sadar arah yang akan ditempuhnya. Menjadi manusia berarti berada dalam situasi harus memilih, sejak membuka mata di pagi hari hingga menutup mata di malam hari. Oleh karena itu, makna manusia terletak pada akumulasi keputusan-keputusan moral yang diambilnya; makna manusia terletak pada kumpulan dari pilihan-pilihan sadar yang dibuatnya. Akumulasi keputusan dan pilihan inilah nilai ketakwaan—sebuah harga yang tak pernah bisa ditakar oleh orang lain. Dan itu berlaku bagi semua, tanpa pandang kulit, rambut atau mata.
Oleh karena itu, tak ada yang salah bila seseorang menjadi Jawa atau Cina. Di depan Tuhan, Jawa atau Cina sama saja. | |