dc.description.abstract | Produksi garam nasional 2009 mencapai 1,26 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dari kenyataan angka kebutuhan garam industri dan
rumah tangga nasional yang mencapai 2,86 juta ton/tahun. Sentra produksi yang terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura serta rendahnya
tingkat produktifitas usaha garam nasional yang berkisar antara 60-70 ton/hektar/tahun, jauh dibawah Australia dan India yang mencapai
lebih dari 70 ton/hektar/tahun, makin memperparah kondisi ini. Lebih dari 55% kebutuhan garam nasional diimpor dari sejumlah negara.
Tahun 2010 impor Indonesia mencapai 957 ribu ton, sedangkan pada tahun 2011 angka impor mencapai 923 ribu ton, padahal kebutuhan
garam konsumsi rumah tangga rata-rata nasional mencapai 120 ribu ton/bulan. Berdasar realitas tersebut dilakukan upaya
pengidentifikasian dan menghitung prospek ekonomis komoditas garam di beberapa wilayah di Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur
merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sebagai produsen garam utama Indonesia, karena karakteristik dan kondisi alamnya.
Kajian ini menggunakan pendekatan interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi, yang dikombinasikan dengan pengolahan citra SRTM,
serta pemanfaatan Peta RBI skala 1:25.000 dalam kegiatan lapangan dan wawancara sebagai dasar perhitungan ekonomi. Lahan seluas ±
3.404,51 ha yang teridentifikasi berpotensi sebagai tambak garam, ± 731,41 ha merupakan areal penyangga berupa mangrove, sehingga
luas areal yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan adalah ± 2.673,1 ha. Dengan tingkat produksi 7.000 karung (@ 50kg) / 6 ha / 1
tahun (1 musim), dengan harga perkarung Rp 40.000; sesuai hasil wawancara dan data kelompok tani, maka lahan yang tersedia berpotensi
menghasilkan nilai ekonomis senilai Rp 124,7 milyar/tahun dengan tingkat produksi 58,33 ton/ha/tahun. | en_US |