Perancangan Model Bisnis dengan Pendekatan Socio Technical Pada Industri TV Digital Bergerak di Indonesia
Abstract
Konvensi Jenewa pada tahun 2006 atau GE-06mengenai penyiaran televisi,memberikan tantangan
bagi para pengambil kebijakan di berbagai negarabahwa tahun 2015 mampu menyelesaikan migrasi
teknologi penyiaran analog ke digital atau Analogue Switch Off (ASO). Tak terkecuali Indonesia,
telah merespon salah satunya dengan menetapkan standar teknologi peyiaran TV Digital terrestrial
tetap (TVD-TT)dan bisnis modelnya.Sementara itu perkembangan teknologi penyiaran yang pesat
perlu disiapkan langkah-langkah bagi penerapan dan pengembangan penyiaran digital bergerak
(mobile).
Pengguna perangkat telekomunikasi semacam handphone, smartphone mengalami perkembangan
yang cukup signifikan,mengindikasikan kebutuhan layanan mobile mulai diterima masyarakat secara
luas.Prospek penyiaran digital bergerak menunjukkan arah konvergensi dengan bisnis
telekomunikasi lainnya. Sementara itu penyiaran televise digital terestrial bergerak(TVD-TB) belum
ditentukan standarnya oleh pemerintah, akan tetapi peluang untuk itu dimungkinkan menurut
peraturan menteriNo.21/PER/M.Kominfo/4/2009tentang standard radio digital DAB dan
keluarganya dalam hal ini T-DMB. Penerapan TVD-TB ini akan menyebabkan para broadcaster
termasuk institusi publik, perlu untuk melihat cara-cara baru mengatasi segmen pasar layanan
mobile. Dalam hal ini industri penyiaran bergerak, minat yang tinggi bisa terjadi pada
pengembangan pasar seperti, perangkat jaringan, perangkat penerima, penyedia konten, sampai
penyedia jaringan. Hal ini berakibat perlunya penyesuaian platform dan caradalam
mengembangkan dan mengimplementasikan layanan penyiaran bergerak.
Melalui pendekatan sosio teknikal dapat untuk melihat hubungan antara tiga subsistem sebuah
bisnis baru penyiaran digital bergerak yaitu subsistem teknologi, sosial dan regulasi. Berdasarkan
hasil surveidi kota Semarang subsistem sosial dapat didiskripsikan melalui ketertarikan responden
terhadap layanan televisi digital terestrial bergerak mencapai 55%,diikuti persepsi mengenai
budaya hidup mobile yang akan membutuhkan layanan TV Digital terrestrial bergerak mencapai
nilai 71% . Pendapat responden mengenai layanan konten TV interaktif, akan membuat layanan TV
semakin menarik untuk di tonton sebanyak 66% . Adapun optimisme akantumbuhnya usaha-usaha
baru bidang penyiaran masa yang akan dengan potensi bisnis yang besar dipercayai oleh 70%
responden.Dengan dielaborasikan pendapat para pakar mengenai teknologi dan regulasi sebagai
lingkungan bisnis industry ini, maka rekayasa model bisnis yang sifatnya generik dibangun
berdasarkan kaidah fungsi dalam setiap komponen system penyiaran digital.Model bisnis dibuat
dengan mengedepankan peran Lembaga Penyedia Multipleksing (LPM) dan Lembaga Penyedia
Akses (LPA) yang beroperasi secara simultan secara parallel dan secara serial. Peran dua lembaga ini ditempatkan sebagai ’penggerak’ dimana hubungan antara layanan dan aliran biaya yang
menghubungkan relasi antar Lembaga Penyedia Multipleksing (LPM), Lembaga Penyelenggara
Program Siaran (LPPS), Lembaga Penyedia Akses (LPA) dan pada Penyedia Konten (PK) dapat
terjadi. Pemodelan ini diharapkan menjadi referensi pengembangan model bisnis penyiaran digital
bergerak yang sesuai dengan sumber daya di Indonesia.