Kedudukan Jaminan dalam Sengketa Pembiayaan Syariah pada Putusan Pengadilan Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstract
Kasus sengketa akad pembiayaan syariah yang terjadi di Pengadilan Agama Wilayah
Yogyakarta, dalam kasus ini terjadi di Pengadilan Agama Sleman, dimana
Penggugat (KSSU BMT Mitra Usaha Mulia) menggugat Tergugat yang tidak
melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) sebagaimana tertuang dalam Akad
Pembiayaan Al-Murabahah Nomor 03.301.01215/BMT/Ak/2013 dan Nomor
03.301.01235/BMT/Ak/2013. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah kedudukan jaminan dalam akad pembiayaan syariah menurut
madzhab-madzhab dalam hukum Islam, serta Bagaimanakah pertimbangan hakim
dalam memutus perkara ekonomi syariah terkait dengan jaminan dalam sengketa
pembiayaan syariah pada putusan Pengadilan Agama di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tujuan dari permasalahan ini adalah agar dapat diketahui
bagaimanakah kedudukan jaminan menurut hukum Islam dan hukum Perdata
menyangkut masalah dalam penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau doktrinal. Untuk
mendapatkan data yang akurat, penulis melakukan studi pustaka terhadap bahanbahan
hukum baik hukum primer, sekunder maupun tersier. Adapun narasumber
dalam dalam penelitian ini adalah Hakim yang memutus perkara. Berdasarkan hasil
penelitian dan analisis terhadap kasus Nomor 767/Pdt.G/2016/PA.Smn, maka
kedudukan jaminan dalam perkara tersebut adalah tidak menyatakan sah dan
berharganya jaminan, semua jaminan tidak bisa dilelang / dieksekusi, karena hakim
hanya menyatakan bersalah dan Tergugat dihukum untuk membayar pelunasan
pokok pinjaman dan margin kepada Penggugat. Dalam hal ini kedudukan kreditur
menjadi lemah. Sedangkan putusan hakim dalam perkara ini sudah benar karena
akad pembiayaan murabahah merupakan akad yang tidak mengharuskan adanya
jaminan. Kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah apabila kita tinjau dari
aspek regulasinya, dalam hal ini adalah ketentuan Fatwa DSN-MUI yang menjadi
dasar pedoman perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya, dalam
Fatwa DSN-MUI tentang Pembiayaan Murabahah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000
dinyatakan bahwa: “Jaminan dalam Murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan
yang dapat dipegang.” Menurut Fatwa DSN-MUI tersebut, pada dasarnya dalam
pembiayaan Murabahah, jaminan merupakan hal yang dibolehkan dan bukanlah
merupakan hal/sesuatu yang pokok yang harus ada dalam pembiayaan Murabahah.
Adanya jaminan dalam perbankan syariah khususnya dalam pembiayaan Murabahah
hanya untuk memberikan kepastian kepada pihak ba’i bahwa pihak musytari dalam
pembiayaan Murabahah akan serius dengan pesanannya sesuai dengan yang telah
diperjanjikan di muka. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kedudukan jaminan
bukanlah untuk men-cover atas modal yang dikeluarkan oleh bank dan jaminan
bukanlah hal yang prinsip/pokok pada pembiayaan Murabahah, dalam artian
pembiayaan Murabahah tanpa jaminan sudah dapat disetujui/berlaku.