Show simple item record

dc.contributor.authorRosyadi, Imron
dc.date.accessioned2012-04-30T04:43:03Z
dc.date.available2012-04-30T04:43:03Z
dc.date.issued2009-11
dc.identifier.citationFazlur Rahman.1984. Islam. Bandung: Pustaka Salman. Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UIP. Karen Armstrong. 2001. A History of God: 4000 Tahun Pengembaraan Manusia Menuju Tuhan. Jakarta: Nizam Press. M. Amin Abdullah. “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan Post Dogmatik”. dalam Basis, Nomor 05-06, Tahun ke-51, mei-Juni 2002. M. Nashruddin Anshory. 1995. Potret Kewiraswastaan Musa Asy‘arie. Jakarta: LP3ES. Majid Fakhri. 1970. A History of Islamic Philosophy. New York: Colombia University Press. Musa Asy‘ri. 1999. Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berfikir. Yogyakarta: Lesfi. __________.1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Quran. Yogyakarta: Lesfi. __________.1999. Filsafat Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Lesfi. Syu‘ba Asa. “Ritualisme Islam dan Etika Sosial”. dalam Budhy Munawar Rahman. 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.en_US
dc.identifier.issn0852-368X
dc.identifier.urihttp://hdl.handle.net/11617/1192
dc.description.abstractTradisi perbincangan tentang Tuhan ini dalam studi keilmuan Islam biasanya dibahas dalam teologi. Di dalam kajian teologi ini, banyak tokoh intelektual mencoba memperbincangkan persoalan-persoalan yang terkait dengan Tuhan, termasuk diantaranya Musa Asy’ari yang menjadi kajian dalam makalah ini. Kesimpulan yang didapat dalam kajian pemikiran filosofis konsep ketuhanan dalam teologi Islam versi Musa asy‘ari adalah eksistensi Diri Tuhan dalam pemikran Musa itu tidak akan bisa dijangkau oleh akal manusia. Mengapa demikian? Oleh karena Diri Tuhan itu Mutlak dan tak terbatas, yang bisa dijangkau oleh manusia adalah wujud eksistensiNya yang ada dalam permukaan bumi ini. Itulah relatifitas diri manusia. Dengan demikian, Tuhan yang dikonsepsikan dan dipersepsikan itu bukan Tuhan yang sebenarnya. Diri manusia yang relatif itu dapat melakukan perjumpaan dengan Tuhan melalui pengalaman spiritual yang diperolehnya, misalnya, ketika melakukan shalat. Dalam perjumpaan melalui shalat itu, yang ditemui sebagai wujud spiritual adalah komitmen kepada ihsan, yaitu kebenaran dan kemanusiaan. Kedua hal ini bukan Tuhan karena itu tidak akan disembah. Semakin manusia itu intens dalam menghampiri Tuhan melalui pengalaman spiritualnya maka semakin luas amal shaleh yang dilakukan. Dalam perspektif ini, peradaban yang muncul ke permukaan bukan perusakan.en_US
dc.subjectMusya Asy’arien_US
dc.subjectKetuhananen_US
dc.subjectspiritualen_US
dc.subjectfilosofisen_US
dc.titleKETUHANAN DALAM TEOLOGI ISLAM: MENELUSURI PEMIKIRAN FILOSOFIS MUSYA ASY‘ARIen_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record