UPAYA PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA (Studi atas Pemikiran Thomas Djamaluddin)
Abstract
Umat Islam di Indonesia sampai saat ini masih berbeda-beda dalam menentukan
awal bulan kamariah. Perbedaan ini mengakibatkan perbedaan pula dalam memulai
peribadatan-peribadatan tertentu, yang paling menonjol ialah perbedaan dalam memulai
puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Perbedaan tersebut disebabkan oleh dua hal
pokok, yaitu segi penetapan hukum, dan segi sistem atau metode penentuan awal bulan.
Perbedaan penetapan awal bulan di Indonesia tersebut membuat para tokoh falak danastronomi bekerja keras untuk memikirkan upaya penyatuan kalender Islam. Salah
satu tokoh yang gigih memperjuangkan upaya penyatuan kalender Islam di Indonesia
adalah Thomas Djamaluddin.
Artikel ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana konsep pemikiran Thomas
Djamaluddin tentang upaya penyatuan kalender Islam di Indonesia dan bagaimana
aplikasi pemikiran Thomas Djamaluddin tentang upaya penyatuan kalender Islam di
kalangan ormas-ormas Islam Indonesia. Temuan-temuan dalam penelitian ini adalah:
(1) Konsep pemikiran Thomas Djamaluddin tentang kriteria visibilitas hilal (crescent
visibiliy) sebagai upaya penyatuan kalender Islam di Indonesia bertumpu pada redefinisi
hilal, keberlakuan rukyah al-hilal atau matla’, dan kriteria visibilitas hilal (imkan ar-rukyah)
tahun 2000 dan 2011. Kriteria LAPAN 2000 adalah: (a) Umur Bulan harus > 8 jam, (b)
Jarak sudut Bulan-Matahari harus > 5,6°, tetapi apabila beda azimutnya < 6° perlu
beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0°, beda tingginya harus > 9°.
Kriteria tersebut diperbarui oleh Thomas Djamaluddin pada tahun 2011 menjadi: (a)
Jarak sudut Bulan-Matahari > 6,4°, dan (b) Beda tinggi Bulan-Matahari > 4°; (2) Aplikasi
pemikiran Thomas Djamaluddin tentang kriteria visibilitas hilal (crescent visibility/imkan
ar-rukyah) sebagai upaya penyatuan kalender Islam di Indonesia sampai saat ini masih
belum sepenuhnya diterima oleh ormas-ormas Islam di Indonesia.