• Login
    View Item 
    •   Home
    • Proceedings
    • Prosiding Seminar Nasional Psikologi UMS
    • Seminar Nasional Psikologi UMS 2015
    • View Item
    •   Home
    • Proceedings
    • Prosiding Seminar Nasional Psikologi UMS
    • Seminar Nasional Psikologi UMS 2015
    • View Item
    JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

    Theory of Mind Pada Anak Usia Pra Sekolah Ditinjau Dari Konflik dengan Saudara Kandung

    Thumbnail
    View/Open
    21-Nur Azizah.pdf (667.5Kb)
    Date
    2015-06-13
    Author
    Azizah, Nur
    Padu, Stefani
    Metadata
    Show full item record
    Abstract
    Perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek perkembangan penting terutama pada usia pra sekolah. Seorang ahli kognisi terkemuka, Jean Piaget menyatakan bahwa usia pra sekolah anak berada pada tahap pemikiran egosentris. Artinya anak kesulitan melihat sudut pandang orang lain yang berbeda dengan dirinya. Namun, hasil berbagai penelitian terbaru telah membuktikan bahwa pada usia 4 tahun anak telah memiliki rasa ingin tahu mengenai hakikat pikiran orang lain. Anak–anak telah memiliki theory of mind, yaitu sebuah kesadaran seseorang mengenai proses mentalnya sendiri dan proses mental orang lain. Pada dasarnya dalam konteks perkembangan kognitif, theory of mind memiliki peran penting dan strategis terkait hubungannya dengan orang lain, terutama pada masa usia pra sekolah. Hal itu dikarenakan, pada usia pra sekolah anak-anak mulai melakukan interaksi sosial, sehingga membutuhkan kemampuan kognisi sosial untuk memahami lingkungannya. Dari berbagai kajian literatur telah ditemukan bahwa salah satu variabel yang dapat menjadi prediktor untuk mengembangkan kemampuan theory of mind anak usia pra sekolah adalah konflik dengan saudara kandung. Hal tersebut didasarkan dengan adanya konflik antara anak dengan saudara kandung dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk bisa saling mamahami sudut pandang, pikiran, keinginan, perasaan, dan kondisi-kondisi internal orang lain. Akan tetapi, pada kenyataanya para orang tua pada budaya Timur, khususnya di Indonesia cenderung menekankan hubungan anaknya pada harapan-harapan keluarga, yaitu adanya nilai kolektivisme, kesamaan, konformitas dan harmonisasi dibandingkan dengan nilai-nilai yang bersifat menentang atau konflik. Hal tersebut tentu berbeda dengan budaya Barat, yang lebih mementingkan nilai-nilai individualitas dan independensi, serta mendorong anak-anaknya untuk bertindak asertif, bahkan mendorong terjadinya konflik antara saudaranya, sehingga anak-anak pada budaya Barat memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk memahami kondisi mental orang lain.
    URI
    http://hdl.handle.net/11617/6532
    Collections
    • Seminar Nasional Psikologi UMS 2015

    DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
    Contact Us | Send Feedback
    Theme by 
    Atmire NV
     

     

    Browse

    Publikasi IlmiahCommunities & CollectionsBy Issue DateAuthorsTitlesSubjectsThis CollectionBy Issue DateAuthorsTitlesSubjects

    My Account

    Login

    DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
    Contact Us | Send Feedback
    Theme by 
    Atmire NV