Epistimologi dan Legalisasi Hukum Transendental
Abstract
Dalam alam modernisme, perspektif transendental dengan segala aspeknya seperti keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Karena itu,hukum modern dalam perkembangannya telah kehilangan unsur yang esensial yang berupa nilai-nilai yang bersifat transedental. Dalam epistimologi ilmu terdapat model yang mengintegrasikan ilmu yang rasional dan nilai yang berangkat dari hati yang transendental.Integrasi antara science, philosophy dan religion ditawarkan sebagai basis epistimologi masa depan dalam pembelajaran dan penelitian ilmu. Epistimologi ilmu berasumsi bahwa indra, rasio dan intuisi yang berbasis pada spiritual merupakan metode yang sah dalam pengembangan ilmu.Kuntowijoyo memaknai metode pengembangan ilmu dan agama dengan istilah profetik mendasarkan pada Al-Quran dan Sunnah merupakan basis utama dari keseluruan pengembangan Ilmu pengetahuan.Dalam hal ini ilmu hukum transcendental bukan hanya didasarkan pada kebenaran pada taraf haqq alyakin, yang terhimpun dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga berdasarkan kebenaran yang alamiah (sunnahtullah) dan kebenaran yang diperoleh dengan kemampuan potensi manusia melalui perenungan, penalaran dan diskursus yang berkembang di masyarakat.Dalam kontek Indonesia legalisasi hukum transcendental mengakui adanya otoritas ketuhanan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jejak kehidupan Indonesia modern, terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945.Disamping itu tidak boleh lepas dari prinsip dasar yang terdapat pada ideologi negara berupa Pancasila.Pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.Putusan pengadilan yang memuat irah-irah putusan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.