dc.contributor.author | Dewi Purwanti, Yanti | |
dc.date.accessioned | 2012-06-04T04:39:24Z | |
dc.date.available | 2012-06-04T04:39:24Z | |
dc.date.issued | 2012-06-04 | |
dc.identifier.citation | Lickona, Thomas, 1991. Educating for Character, New York: Bantam Book.
Depdiknas RI, 2010. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Nilai dan Karakter, Jakarta:
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas RI, 2010. Grand Desain Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta: Pusat Kurikulum
Litbang Depdiknas. | |
dc.identifier.uri | http://hdl.handle.net/11617/1513 | |
dc.description.abstract | Sebagian besar dari berbagai bahasan mengenai pendidikan inklusif
biasanya berangkat dari kebutuhan kelompok peserta didik berkebutuhan
khusus (ABK). Jarang sekali ada pembahasan mengenai konsekuensinya
terhadap peserta didik lain yang tidak dimasukkan dalam kelompok ABK
sebagaimana yang tercantum pada Permendiknas nomor 70 Tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Padahal,
dalam prakteknya, pendidikan inklusif menyediakan wahana bagi semua
peserta didik untuk memperoleh pengalaman saat (1) melakukan
tindakan moral tertentu dalam situasi kelas yang beragam; (2) refleksi
perasaan yang terlibat dalam tindakan tersebut; serta (3) berdiskusi
mengenai latar belakang pemikiran dari tindakan tersebut. Ketiga
pengalaman yang sebenarnya merupakan komponen dalam strategi
pembelajaran karakter karena Lickona (1991) pernah mengajukan usulan
bahwa untuk mengembangkan karakter, komponen-komponen karakter
yang perlu dikembangkan secara bersama-sama (tidak boleh salah
satunya) adalah komponen moral knowing, moral feeling, dan moral
action. | en_US |
dc.subject | inklusi | en_US |
dc.subject | pengembangan karakter | en_US |
dc.title | INKLUSI SEBAGAI STRATEGI PEMBELAJARAN KARAKTER | en_US |
dc.type | Article | en_US |