Pendekatan Sosio-Ekologi dan Teknologi SIG dalam Pengurangan Risiko Bencana (Kajian Multi Disiplin dalam Analisis Bencana Banjir di Pesisir Pekalongan)
Abstract
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki konsekuensi pada wilayah pesisir yang luas, dan garis pantai yang sangat panjang, dan
memiliki peran penting dalam pembangunan nasional dan daerah. Namun demikian, peran tersebut menghadapi kendala dengan adanya
kerawanan bencana alam yang tinggi, antara lain bencana banjir pasang, seperti yang terjadi di wilayah permukiman pesisir Kot a
Pekalongan. Berdasarkan pada masalah tersebut dilaksanakan penelitian dengan tujuan: 1) Melakukan pemetaan banjir pesisir dengan
menggunakan teknologi SIG dan pendekatan masyarakat (Partisipatory GIS). 2) Memahami strategi adaptasi masyarakat terhadap banjir
pesisir dengan menggunakan pendekatan sosio-ekologi, dan 3) Merumuskan rencana pengurangan risiko bencana dengan pendekatan
multi-disiplin sosio-ekologi dan teknologi SIG. Pelaksanaan penelitian menggunakan pendekatan multi-disiplin, yakni sintesis kajian sosioekologi
dengan
melibatkan
masyarakat
kawasan
pesisir
dalam
unit
ekologi,
dan
memanfaatkan
teknologi
sistem
informasi
geografis
(SIG)
dalam
pemetaan
partisipatif untuk identifikasi bahaya banjir pesisir. Operasi iterasi dalam teknologi SIG digunakan untuk menyusun peta
bencana banjir pesisir. Integrasi teknologi SIG dan teknik penelitian sosial berupa wawancara dan diskusi terarah dengan informan,
sebagai dasar penyusunan peta banjir partisipatif (Participatory GIS).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bencana banjir dan areal pesisir kelurahan yang terkena dampak bervariasi, bergantung pada
ketinggian tempat dan kedalaman air genangan banjir yang terjadi. Pada skenario banjir pasang setinggi 0,1 m, genangan terjadi di
beberapa lokasi wilayah pesisir Kelurahan Krapyak Lor, terutama pada lahan tambak dan sawah. Skenario genangan banjir pasang
setinggi 0,5 m, selain menggenangi beberapa lokasi pesisir Desa Kelurahan Krapyak Lor, genangan banjir meluas hingga Desa Panjang
Wetan, dan Degayu, baik pada lahan tambak, sawah, kolam, dan sebagian permukiman penduduk. Pada scenario genangan banjir
pasang setinggi 0,7 m, daerah yang terkena dampak lebih luas hingga pesisir Desa Keluarahan Kandang Panjang, di samping Krapyak
Lor, Panjang Wetan, dan Kelurahan Degayu, menggenangi lahan tambak, sawah, kolam, dan permukiman. Perubahan ketinggian
genangan banjir tersebut telah diketahui oleh sebagian besar (95%) masyarakat setempat. Lahan sawah mulai tergenang banjir pasang
sejak sekitar tahun 1990-an. Kejadian banjir pasang terjadi semakin sering terjadi pada beberapa tahun terakhir sejak sekitar tahun 2009
hingga tahun 2011. Persepsi masyarakat tentang banjir pasang desa-desa pesisir ini terwujud dalam anggapan mereka, bahwa banjir
merupakan sebuah gangguan, namun karena sudah terjadi cukup lama, masyarakat menganggapnya sebagai fenomena yang biasa.
Sebagian besar (80%) anggota masyarakat bersikap bertahan, dengan alasan memiliki harta benda di lokasi ini dan tidak memiliki tempat
tinggal di daerah lain. Anggota masyarakat lainnya sebagian (10%) bersikap mentoleril dan menerima banjir pasang, dengan menyadari
bahwa banjir pasang adalah proses alam yang tidak dapat diintervensi, meskipun disadari mengganggu kehidupan mereka tetapi masih
dapat diadaptasi. Sebagian lagi (10%) masyarakat mengambil sikap dalam proses pindah ke daerah lain. Maknanya, bahwa variasi
bencana banjir pasang di suatu lingkungan suatu wilayah, diikuti oleh variasi keberhasilan adapsi masyarakat terhadap kendala
lingkungan di sekitar mereka.