Revitalisasi Sekolah Luar Biasa (SLB) Pasca Implementasi Program Pendidikan Inklusi
Abstract
Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah biasa. Sekolah Luar Biasa (SLB) diselenggarakan untuk melayani anak dalam usia sekolah yang berkebutuhan khusus (memiliki kelainan fisik atau mental). Bila penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah bisa menampung semua anak yang berkebutuhan khusus, sekolah luar biasa menjadi tidak diperlukan lagi. Terlepas dari kenyataan penyelenggaraan kelas inklusi, yang menjadi masalah adalah keberadaan Sekolah Luar Biasa pasca implementasi sekolah inklusi. Atas dasar tersebut, maka perlu penelitian untuk mengetahui permasalahan penyelenggaraan SLB pasca implementasi sekolah inklusi. Penelitian dilaksanakan pada
12 SLB di empat Kabupaten/Kota wilayah Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sekalipun diselenggarakan sekolah inklusi, semua responden menjawab optimis bahwa SLB tetap akan eksis, tidak ada masalah karena berbagai alasan: (1) tidak semua ABK bisa ditampung/ditangani oleh sekolah inklusi, anak tuna grahita (ringan, sedang) yang memiliki kekhususan, yaitu IQ-nya di bawah anak normal biasa tidak bisa diikut sertakan pada kelas inklusi bersama anak normal biasa, anak tuna rungu wicara juga tidak mudah masuk kelas inklusi, anak tuna netra yang memiliki IQ normal di atas rata-rata kemungkinan bisa masuk di sekolah inklusi asal disertai dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK), anak tuna daksa yang memiliki IQ normal di atas rata- rata paling memungkinkan bisa diterima di sekolah inklusi, anak lambat belajar dan anak autis juga memungkinkan bisa ditangani oleh sekolah inklusi asal ada GPK, (2) sebagian besar orang tua dari anak penyandang ketunaan masih lebih mempercayakan anaknya dididik di SLB yang sudah cukup berpengalaman daripada memasukkan anaknya pada sekolah inklusi yang belum berpengalaman, (3) Sekolah inklusi bisa dibuka di daerah/ kecamatan yang tidak ada SLB-nya; tentang GPK-nya bisa bekerjasama dengan SLB terdekat, (4) sebagian besar masyarakat, terutama dari kalangan orang tua anak ABK belum tahu persis tentang sekolah inklusi dibanding SLB yang sudah lebih familiar, dan (5) SLB yang ada sekarang sudah cukup mapan, sarana dan prasarana cukup memadai, gedung dan peralatan cukup representatif, secara institusional memiliki legalitas yang kuat, dan tenaga cukup profesional, sehingga SLB akan tetap eksis keberadaannya sekalipun telah ada sekolah inklusi.