dc.identifier.citation | Apeldoorn, L.J. Van, 2011, “Pengantar Ilmu Hukum: Terjemahan”, Jakarta, Pradnya Paramita. Bello, Petrus C.K.L, 2013, “Ideologi Hukum, Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum”, Bogor, Insan Merdeka. Hafidh Shalih, 2003, “Falsafah Kebangkitan :Dari Ide Hingga Metode”, Bogor, CV Idea Pustaka Utama. Marzuki, Peter Mahmud, 2012, “Pengantar Ilmu Hukum: Eedisi Revisi”, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup. _________, 2010, “Penelitian Hukum”, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup. Putra, Widodo Dwi, 2011, “Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum”, Yogyakarta, Genta Publishing. | in_ID |
dc.description.abstract | Diskursus mazhab hukum kodrat dan mazhab hukum positivisme, telah menjadi wacana
pedebatan yang mewarnai hampir setiap kajian filsafat hukum. Kedua mazhab hukum
tersebut, sama mengklaim telah berhasil mengungkap hakikat kebenaran hukum dan
konsep tentang keadilan, dengan menggunakan metodologi berpikir yang secara
epistomologis, yang tentu saja berbeda. Namun demikian, titik pijak instrumen metodologi
yang digunakan keduanya tetap sama, yaitu tetap berpijak kepada logika mantik dan hasil
intuisi dari para pengusungnya. Diantara dua mazhab yang saling berebut posisi untuk
mempengaruhi berbagai kajian hukum itu, maka kemunculan hukum syariah, sebagai
hukum yang diintrodusir dari Wahyu Allah SWT, yang diturunkan melalui lisan Nabi
Muhammad SAW, juga telah membawa warna dan corak tersendiri yang mempengaruhi
pemikiran hukum umat manusia. Tentu saja, ada perbedaan sangat fundamental antara
hukum syariah dengan dua mazhab hukum tersebut. Hukum syariah dengan karakteristik
kewahyuan yang melekat padanya, hendak menerjemahkan nilai-nilai hukum sebagai
sesuatu yang sudah pakem datangnya dari Sang Pencipta manusia, yang sudah pasti tidak
akan pernah salah dan keliru dalam memenuhi rasa keadilan dan menciptakan persamaan
hukum dalam kehidupan umat manusia. Sedangkan mazhab hukum kodrat dan
positivisme, meskipun mengklaim dapat menjamin universalitas keadilan dan persamaan
hukum, tetapi keduanya tetap akan menghasilkan keadilan yang absurd serta persamaan
hukum yang ilutif. Sebab titik pijak keduanya, bertumpu kepada epistemologi dengan
pendekatan logika bebas dan hasil intuisi manusia, yang tentu kesimpulannya akan selalu
mengundang perdebatan. | in_ID |