Kontruksi Putusan Hakim Tindak Pidana Korupsi yang Berperspektif Transendental
Abstract
Kasus tindak pidana korupsi tak hanya dibatasi pada persoalan gramatikal. Kerangka filosofis mengajak praktisi hukum untuk membedah persoalan secara holistik. Tidak hanya terpaku pada tata aturan normatif dan kesempitan bahasa, tetapi harus secara luas dianalisa dari sisi etika dan moralitas, serta perlu disentuh dengan pendekatan yang kritis terhadap perubahan yang muncul dan berkembang dari tengah lingkungan sosial dan psikologis massa. Dengan melandaskan pada pemikiran Absori bahwa untuk mengkaji dan memahami hukum harus lebih menekankan hal yang sifatnya substantif dan transendental, dengan mendasarkan pada fakta sosial yang tidak lepas dari nilai nilai agama, etik dan moral. dapat disimpulkan bahwa konstruksi putusan hakim tindak pidana korupsi yang berperspektif transendental memiliki unsur pertama, tan hauna anil mungkar (diasumsikan sebagai penegakkan hukum) hakim mempertimbangkan seluruh unsur unsur dari dakwaan pasal pasal tindak pidana korupsi, memahami latar belakang Undang Undang korupsi serta kehendak negara serta memahami sifat ekstra ordinary dari tindak pidana korupsi, sehingga keputusan keputusan hukumnya dideduksikan secara logis dari ketentuan ketentuan yang sudah ada dalam peraturan perundangan undangan. Dalam konteks ini hakim menggunakan (aspek yuridis) untuk mendapatkan nilai kepastian. Kedua, ta muruna bil ma’ruf (diasumsikan sebagai perlindungan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu) hakim mempertimbangkan secara komprehensif tentang apa, kenapa dan bagaimana tindak pidana korupsi dalam pandangan Alqr’an dan hadist, sehingga keputusan keputusan hukum dideduksikan secara logis dari realitas yang ada dalam ajaran agama. Dalam konteks ini hakim menggunakan aspek sosiologis untuk memberikan nilai kemanfaatan. Ketiga, tu minuna billah, (diasumsikan sebagai harmonisasi hukum dan agama) hakim mempertimbangkan tata nilai yang hidup dalam masyarakat, memahami keresahan masyarakat terhadap fenomena korupsi, sehingga dalam konteks berpikir ini hakim memiliki keyakinan atau memposisikan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menyelesaikan persoalan umat manusia. (Hakim menggunakan aspek filosofis untuk memberikan keadilan bagi semua orang/keadilan yang sesuai dengan pandangan masyarakat).