dc.identifier.citation | Abdurrmahman, M. 1996, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta. Depdibud Dirjen Dikti PPPG. Agustiyawati.2007. Pelaksanaan Program Pendidikan Terpadu (Integrasi) Pelaksanaan Program Pendidikan Terpadu (Integrasi) Bagi Tuna Netra di Indonesia. http://agustiyawati.blogspot.com/. Accessed: Amuda Heryanto. 2009. Pedoman Resourcece Centre. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Pelayanan Minimal Sekolah Luar Biasa, Jakarta. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Perangkat Untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif, Ramah Terhadap Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas. Djadja Rahardja. 2010. SLB dulu dan sekarang . Download Senin 6 Desember 2010. Jam 12.15 Hadi, Sutarto, 2003,2006. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. Makalah Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, 2003; Workshop Lokal PMRI 15-17 Juni 2006 di Yogyakarta. Sarjito. 2010. Rancangan pengembangan SLB. Download Sabtu, 07 Agustus 2010. Jam 12.35 | en_US |
dc.description.abstract | Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang mengikutsertakan
ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah
biasa. Sekolah Luar Biasa (SLB) diselenggarakan untuk melayani anak dalam
usia sekolah yang berkebutuhan khusus (memiliki kelainan fisik atau mental).
Bila penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah bisa menampung semua anak
yang berkebutuhan khusus, maka sekolah luar biasa menjadi tidak diperlukan
lagi. Terlepas dari kenyataan penyelenggaraan kelas inklusi, yang menjadi
masalah adalah bagaimana keberadaan Sekolah Luar Biasa pasca
implementasi Sekolah Inklusi. Atas dasar tersebut, maka perlunya penelitian
untuk mengetahui permasalahan penyelenggaraan SLB pasca implementasi
Sekolah Inklusi. Penelitian dilaksanakan pada 12 SLB di empat
Kabupaten/Kota wilayah Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sekalipun diselenggarakan sekolah inklusi, semua responden menjawab
optimis, bahwa SLB tetap akan exis, tidak ada masalah karena berbagai
alasan: (1) tidak semua ABK bisa ditampung/ditangani oleh Sekolah Inklusi,
anak tuna grahita (ringan, sedang) yang memiliki ciri khusus yaitu IQ-nya
dibawah anak normal biasa tidak bisa di ikut sertakan pada kelas inklusi
bersama anak normal biasa, anak tuna rungu wicara juga juga tidak mudah
masuk kelas inklusi, anak tuna netra yang memiliki IQ normal diatas rata-rata
memungkinkan bisa masuk di Sekolah inklusi asal disertai dengan Guru
Pembimbing Khusus (GPK), anak tuna daksa yang memiliki IQ normal diatas
rata-rata paling memungkinkan bisa diterima di Sekolah Inklusi, anak lambat
belajar dan anak autis juga memungkinkan bisa ditangani oleh Sekolah Inklusi
asal ada GPK, (2) sebagian besar orang tua dari anak penyandang ketunaan
masih lebih mempercayakan anaknya dididik di SLB yang sudah cukup
berpengalaman daripada memasukkan anaknya pada Sekolah Inklusi yang
belum berpengalaman, (3) Sekolah Inklusi bisa dibuka di daerah / kecamatan
dimana tidak ada SLB-nya; tentang GPK-nya bisa bekerjasama dengan SLB
terdekat, (4) sebagian besar masyarakat, terutama dari kalangan orang tua
anak ABK belum tahu persis apa itu Sekolah Inklusi dibanding SLB yang
sudah lebih familiar, dan (5) SLB yang ada sekarang ini sudah cukup mapan,
sarana dan prasarana cukup memadai, gedung dan peralatan cukup
representatif, secara institusional memiliki legalitas yang kuat, tenaga cukup
profesional sehingga SLB akan tetap exis keberadaannya sekalipun telah ada
Sekolah Inklusi. | en_US |